Dalam setiap melakukan segala sesuatu tidak akan ada gunanya apabila tidak di landasi rasa ikhlas di dalam hati, selain itu ikhal adalah suatu hal yang sangat dibutuhkan hati agar selalu memiliki tujuan kepada Allah. Selain itu Allah juga memandang drajat seseorang selain karena akhlaqnya juga karena keikhlaan hatinya dalam beribadah dan tanpa adanya rasa ikhlas di hati maka hati ini akan terasa hampa.
Agar kita dapat ikhlas dari dalam hati maka terlebih dahulu kita harus tau apa itu "ikhla"?, dan di bawah ini adalah uraian singkat tentang pengertian iklas. . .
***
Allah akan senantiasa menolong kaum muslimin karena keikhlasan sebagian orang dari umat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا يَنْصُرُ اللَّهُ
هَذِهِ الْأُمَّةَ بِضَعِيفِهَا بِدَعْوَتِهِمْ وَصَلَاتِهِمْ وَإِخْلَاصِهِمْ
“Allah akan menolong umat ini karena
sebab orang miskin, karena do’a orang miskin tersebut, karena shalat mereka dan
karena keikhlasan mereka dalam beramal.”[1]Ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya suatu amalan, di samping amalan tersebut harus sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa ikhlas, amalan jadi sia-sia belaka. Ibnul Qayyim dalam Al Fawa-id memberikan nasehat yang sangat indah tentang ikhlas, “Amalan yang dilakukan tanpa disertai ikhlas dan tanpa mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaikan seorang musafir yang membawa bekal berisi pasir. Bekal tersebut hanya memberatkan, namun tidak membawa manfaat apa-apa.”
Perintah untuk Ikhlas
Setiap amalan sangat tergantung pada niat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّمَا الأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal itu tergantung dari
niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh apa yang dia niatkan.”[2]Dan niat itu sangat tergantung dengan keikhlasan pada Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَمَا
أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al
Bayyinah: 5)Allah pun mengetahui segala sesuatu yang ada dalam isi hati hamba. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي
صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
“Katakanlah: "Jika kamu
menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah
mengetahui”." (QS. Ali Imran: 29)Dalam ayat lainnya, Allah memperingatkan dari bahaya riya’ –yang merupakan lawan dari ikhlas- dalam firman-Nya,
لَئِنْ أَشْرَكْتَ
لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
“Jika kamu mempersekutukan (Rabbmu),
niscaya akan hapuslah amalmu.” (QS. Az Zumar: 65)Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ
اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku
sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang
menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (maksudnya:
tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya.”[3]
An Nawawi mengatakan, “Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu
adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan
dosa.”[4]Dalam hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ
يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ
الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang menutut ilmu yang
sebenarnya harus ditujukan hanya untuk mengharap wajah Allah, namun ia
mempelajarinya hanya untuk mendapatkan materi duniawi, maka ia tidak akan
pernah mencium bau surga pada hari kiamat nanti.”[5]Pengertian Ikhlas Menurut
Abul Qosim Al Qusyairi mengatakan, “Ikhlas adalah menjadikan niat hanya untuk Allah dalam melakukan amalan ketaatan. Jadi, amalan ketaatan tersebut dilakukan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Sehingga yang dilakukan bukanlah ingin mendapatkan perlakuan baik dan pujian dari makhluk atau yang dilakukan bukanlah di luar mendekatkan diri pada Allah.”
Abul Qosim juga mengatakan, “Ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia.”
Jika kita sedang melakukan suatu amalan maka hendaklah kita tidak bercita-cita ingin mendapatkan pujian makhluk. Cukuplah Allah saja yang memuji amalan kebajikan kita. Dan seharusnya yang dicari adalah ridho Allah, bukan komentar dan pujian manusia.
Hudzaifah Al Mar’asiy mengatakan, “Ikhlas adalah kesamaan perbuatan seorang hamba antara zhohir (lahiriyah) dan batin.” Berkebalikan dengan riya'. Riya’ adalah amalan zhohir (yang tampak) lebih baik dari amalan batin yang tidak ditampakkan. Sedangkan ikhlas, minimalnya adalah sama antara lahiriyah dan batin.
Dzun Nuun menyebutkan tiga tanda ikhlas:
1. Tetap merasa sama antara pujian dan celaan orang lain.
2. Melupakan amalan kebajikan yang dulu pernah diperbuat.
3. Mengharap balasan dari amalan di akhirat (dan bukan di
dunia).
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan,
“Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’. Beramal karena manusia
termasuk kesyirikan. Sedangkan ikhlas adalah engkau terselamatkan dari dua hal
tadi.”
1. Meniatkan suatu amalan hanya untuk Allah.
2. Tidak mengharap-harap pujian manusia dalam beramal.
3. Kesamaan antara sesuatu yang tampak dan yang
tersembunyi.
4. Mengharap balasan dari amalannya di akhirat.
Nantikan pembahasan selanjutnya mengenai
tanda-tanda ikhlas. Semoga Allah memudahkan dalam setiap urusan.[1] HR. An Nasa-i no. 3178. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[2] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Khattab.
[3] HR. Muslim no. 2985, dari Abu Hurairah.
[4] Syarh Muslim, An Nawawi, 9/370, Mawqi’ Al Islam.
[5] HR. Abu Daud no. 3644 dan Ibnu Majah no. 252, dari Abu Hurairah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[6] Kami ambil perkataan-perkataan ulama tersebut dari kitab At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, An Nawawi, hal. 50-51, Maktabah Ibnu ‘Abbas, cetakan pertama, tahun 1426 H.
http://www.rumaysho.com/arsip-artikel.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar