Sejak berakhirnya perang Badar banyak menimbulkan dendam yang semakin
mendalam di antara kaum quraisy, karena mereka masih blm bisa melupakan
kekalahan mereka dan banyaknya dari kelompok mereka yang meninggal.
Demikianlah
keadaan kaum Quraisy, mereka memutuskan untuk berperang kemabili dan
para wanita yang tidak rela keluarganya meninggal pada perang badar
mendesak untuk ikut dalam berperang sehingga mereka berunding lagi. Ada
yang berpendapat supaya kaum wanita
juga ikut serta.
“Biar mereka bertugas merangsang kemarahan kamu, dan
mengingatkan kamu kepada korban-korban Badr. Kita adalah masyarakat yang sudah
bertekad mati, tidak akan pulang sebelum sempat melihat mangsa kita, atau kita
sendiri mati untuk itu.”
“Saudara-saudara dari Quraisy,” kata yang lain
lagi. “Melepaskan wanita-wanita kita kepada musuh, bukanlah suatu pendapat yang
baik. Apabila kalian mengalami kekalahan, wanita-wanita kitapun akan
tercemar.”
Sementara mereka sedang dalam perundingan itu tiba-tiba Hindun
bt. ‘Utba, isteri Abu Sufyan berteriak kepada mereka yang menentang ikut
sertanya kaum wanita itu:
“Kamu yang selamat dari perang Badr kamu
kembali kepada isterimu. Ya. Kita berangkat dan ikut menyaksikan peperangan.
Jangan ada orang yang menyuruh kami pulang, seperti gadis-gadis kita dulu dalam
perjalanan ke Badr disuruh kembali ketika sudah sampai di Juhfa.
1 Kemudian
orang-orang yang menjadi kesayangan kita waktu itu terbunuh, karena tak ada
orang yang dapat memberi semangat kepada mereka.”
Akhirnya pihak Quraisy
berangkat dengan membawa kaum wanitanya juga, dipimpin oleh Hindun. Dialah orang
paling panas hati ingin membalas dendam, karena dalam peristiwa Badr itu
ayahnya, saudaranya dan orang-orang yang dicintainya telah mati terbunuh.
Keberangkatan Quraisy dengan tujuan Medinah yang disiapkan dari Dar’n-Nadwa itu
terdiri dan tiga brigade. Brigade terbesar dipimpin oleh Talha b. Abi Talha
terdiri dari 3000 orang. Kecuali 100 orang saja dari Thaqif,
2 selebihnya semua
dari Mekah, termasuk pemuka-pemuka, sekutu-sekutu serta golongan Ahabisynya.
Perlengkapan dan senjata tidak sedikit yang mereka bawa, dengan 200 pasukan
berkuda dan 3000 unta, di antaranya 700 orang berbaju besi.
Dalam pada itu pasukan Quraisypun sudah pula
berangkat sampai di Abwa’. Ketika melalui makam Aminah bt. Wahb, timbul rasa
panas hati beberapa orang yang pendek pikiran. Terpikir oleh mereka akan
membongkarnya. Tetapi pemuka-pemuka mereka menolak perbuatan demikian; supaya
jangan kelak menjadi kebiasaan Arab.
“Jangan menyebut-nyebut soal ini,”
kata mereka. “Kalau ini kita lakukan, Banu Bakr dan Banu Khuza’a akan membongkar
juga kuburan mayat-mayat kita.”
Orang dari Ghifar yang
diutus oleh Abbas b. Abd’l-Muttalib
membawa surat ke Medinah itu telah sampai. Setelah diketahuinya berada
di Quba’,
ia langsung pergi ke sana dan dijumpainya Muhammad di depan pintu mesjid
sedang
menunggang keledai segera diserahkannya surat itu dan di bacakan oleh
Ubay b. Ka'ab akhirnya Rosul memrintahkan untuk merahasiakan isi surat
itu. Akan tetapi isteri Sa’d yang sedang
dalam rumah waktu itu mendengar juga percakapan mereka, dan dengan
demikian
sudah tentu tidak lagi hal itu menjadi rahasia.
Nabi ‘alaihi’s-salam berpendapat akan tetap bertahan dalam kota dan
membiarkan Quraisy di luar kota. Apabila mereka mencoba menyerbu masuk kota maka
penduduk kota ini akan lebih mampu menangkis dan mengalahkan mereka. Abdullah b.
Ubay b. Salul mendukung pendapat Nabi itu dengan mengatakan:
“Rasulullah,
biasanya kami bertempur di tempat ini, kaum wanita dan anak-anak sebagai benteng
kami lengkapi dengan batu. Kota kami sudah terjalin dengan bangunan sehingga ia
merupakan benteng dari segenap penjuru. Apabila musuh sudah muncul, maka
wanita-wanita dan anak-anak melempari mereka dengan batu. Kami sendiri
menghadapi mereka di jalan-jalan dengan pedang. Rasulullah, kota kami ini masih
perawan, belum pernah diterobos orang. Setiap ada musuh menyerbu kami ke dalam
kota ini kami selalu dapat menguasainya, dan setiap kami menyerbu musuh keluar,
maka selalu kami yang dikuasai. Biarkanlah mereka itu. Rasulullah. Ikutlah
pendapat saya dalam hal ini. Saya mewarisi pendapat demikian ini dari
pemuka-pemuka dan ahli-ahli pikir golongan kami.”
Apa yang dikatakan oleh
Abdullah b. Ubayy itu adalah merupakan pendapat terbesar sahabat-sahabat
Rasulullah - baik Muhajirin ataupun Anshar, mereka sependapat dengan Rasul a.s.
Akan tetapi pemuda-pemuda yang bersemangat yang belum mengalami perang Badr -
juga orang-orang yang sudah pernah ikut dan mendapat kemenangan disertai hati
yang penuh iman, bahwa tak ada sesuatu kekuatan yang dapat mengalahkan mereka -
lebih suka berangkat keluar menghadapi musuh di tempat mereka berada. Mereka
kuatir akan disangka segan keluar dan mau bertahan di Medinah karena takut
menghadapi musuh. Seterusnya apabila mereka ini di pinggiran dan di dekat kota
akan lebih kuat dari musuh. Ketika dulu mereka di Badr penduduk tidak mengenal
mereka samasekali.
Salah seorang diantara mereka ada yang
berkata:
“Saya tidak ingin melihat Quraisy kembali ketengah-tengah
golongannya lalu mengatakan: Kami telah mengepung Muhammad di dalam benteng dan
kubu-kubu Yathrib. Ini akan membuat Quraisy lebih berani. Mereka sekarang sudah
menginjak-injak daun palm kita. Kalau tidak kita usir mereka dari kebun kita,
kebun kita tidak akan dapat ditanami lagi. Orang-orang Quraisy yang sudah
tinggal selama setahun dapat mengumpulkan orang, dapat menarik orang-orang Arab,
dari badwinya sampai kepada Ahabisynya. Kemudian, dengan membawa kuda dan
mengendarai unta, mereka kini telah sampai ke halaman kita. Mereka akan
mengurung kita di dalam rumah kita sendiri? Didalam benteng kita sendiri? Lalu
mereka pulang kembali dengan kekayaan tanpa mengalami luka samasekali. Kalau
kita turuti, mereka akan lebih berani. Mereka akan menyerang kita dan
menaklukkan daerah-daerah kita. Kota kita akan berada dibawah pengawasan mereka.
Kemudian jalan kitapun akan mereka potong.”
Selanjutnya
penganjur-penganjur yang menghendaki supaya keluar menyongsong musuh
masing-masing telah berbicara berturut-turut. Mereka semua mengatakan, bahwa
bila Tuhan memberikan kemenangan kepada mereka atas musuh itu, itulah yang
mereka harapkan, dan itu pula kebenaran yang telah dijanjikan Tuhan kepada
RasulNya. Kalaupun mereka mengalami kekalahan dan mati syahid pula, mereka akan
mendapat surga.
Kata-kata yang menanamkan semangat keberanian dan mati
syahid ini, sangat menggetarkan hati mereka. Jiwa mereka tergugah semua untuk
sama-sama menempuh arus ini, untuk berbicara dengan nada yang sama. Waktu itu,
bagi orang-orang yang kini sedang berhadap-hadapan dengan Muhammad, orang-orang
yang hatinya sudah penuh dengan iman kepada Allah dan RasulNya, kepada Qur’an
dan Hari Kemudian, yang tampak di hadapan mereka hanyalah wajah kemenangan
terhadap musuh agresor itu. Pedang-pedang mereka akan mencerai-beraikan musuh
itu, akan membuat mereka. centang-perenang, dan rampasan perang akan mereka
kuasai. Lukisan surga adalah bagi mereka yang terbunuh di jalan agama. Di tempat
itu akan terdapat segala yang menyenangkan hati dan mata, akan bertemu dengan
kekasih yang juga sudah turut berperang dan mati syahid.
“Ucapan yang sia-sia tidak mereka
dengar di tempat itu, juga tidak yang akan membawa dosa. Yang ada hanyalah
ucapan “Damai! Damai!” (Qur’an, 56: 25-26)
“Mudah-mudahan
Tuhan memberikan kemenangan kepada kita, atau sebaliknya kita mati syahid,” kata
Khaithama Abu Sa’d b. Khaithama. “Dalam perang Badr saya telah meleset. Saya
sangat mendambakannya sekali, sehingga begitu besarnya kedambaan saya sampai
saya bersama anak saya turut ambil bagian dalam pertempuran itu. Tapi kiranya
dia yang beruntung; ia telah gugur, mati syahid. Semalam saya bermimpi bertemu
dengan anak saya, dan dia berkata: Susullah kami, kita bertemu dalam surga.
Sudah saya terima apa yang dijanjikan Tuhan kepada saya. Ya Rasulullah, sungguh
rindu saya akan menemuinya dalam surga. Saya sudah tua, tulang sudah rapuh. Saya
ingin bertemu Tuhan.”
Setelah jelas sekali suara terbanyak ada pada pihak
yang mau menyerang dan menghadapi musuh di luar kota, Muhammad berkata kepada
mereka:
“
Saya kuatir kamu akan kalah.”
Tetapi mereka ingin
berangkat juga. Tak ada jalan lain iapun menyerah kepada pendapat mereka. Cara
musyawarah ini sudah menjadi undang-undang dalam kehidupannya. Dalam sesuatu
masalah ia tidak mau bertindak sendiri, kecuali yang sudah diwahyukan Tuhan
kepadanya.
Setelah melaksanakan sholat Jum'at yang di khutbahi
oleh Rosulullah para sahabat segera mempersiapkan peralatan berperang.
Usaid b. Hudzair dan Sa’d b. Mu’adh - keduanya
termasuk orang yang berpendapat mau bertahan dalam kota berkata kepada
mereka
yang berpendapat mau menyerang musuh di luar:
“Tuan-tuan mengetahui,
Rasulullah berpendapat mau bertahan dalam kota, lalu tuan-tuan berpendapat lain
lagi, dan memaksanya bertempur ke luar. Dia sendiri enggan berbuat demikian.
Serahkan sajalah soal ini di tangannya. Apa yang diperintahkan kepadamu,
jalankanlah. Apabila ada sesuatu yang disukainya atau ada pendapatnya,
taatilah.”
Mendengar keterangan itu mereka yang menyerukan supaya
menyerang saja, jadi lebih lunak. Mereka menganggap telah menentang Rasul
mengenai sesuatu yang mungkin itu datang dari Tuhan. Setelah kemudian Nabi
datang kembali ke tengah-tengah mereka, dengan memakai baju besi dan sudah pula
mengenakan pedangnya, mereka yang tadinya menghendaki supaya mengadakan serangan
berkata:
“Rasulullah, bukan maksud kami hendak menentang tuan. Lakukanlah
apa yang tuan kehendaki. Juga kami tidak bermaksud memaksa tuan. Soalnya pada
Tuhan, kemudian pada tuan.”
“Kedalam pembicaraan yang semacam inilah saya
ajak tuan-tuan tapi tuan-tuan menolak,” kata Muhammad. “Tidak layak bagi seorang
nabi yang apabila sudah mengenakan pakaian besinya lalu akan menanggalkannya
kembali, sebelum Tuhan memberikan putusan antara dirinya dengan musuhnya.
Perhatikanlah apa yang saya perintahkan kepada kamu sekalian, dan ikuti. Atas
ketabahan hatimu, kemenangan akan berada di tanganmu.”
Demikianlah
prinsip musyawarah itu oleh Muhammad sudah dijadikan undang-undang dalam
kehidupannya. Apabila sesuatu masalah yang dibahas telah diterima dengan suara
terbanyak, maka hal itu tak dapat dibatalkan oleh sesuatu keinginan atau karena
ada maksud-maksud tertentu. Sebaliknya ia harus dilaksanakan, tapi orang yang
akan melaksanakannya harus pula dengan cara yang sebaik-baiknya dan diarahkan ke
suatu sasaran yang yang akan mencapai sukses.
Sekarang Muhammad berangkat
memimpin kaum Muslimin menuju Uhud. Di Syaikhan
3 ia berhenti. Dilihatnya di tempat
itu ada sepasukan tentara yang identitasnya belum dikenal. Ketika ditanyakan,
kemudian diperoleh keterangan, bahwa mereka itu orang-orang Yahudi sekutu
Abdullah b. Ubayy. Lalu kata Nabi ‘alaihi’ssalam: “Jangan minta pertolongan
orang-orang musyrik dalam melawan orang musyrik, - sebelum mereka masuk
Islam.”
Pagi-pagi sekali; kaum Muslimin berangkat menuju Uhud. Lalu mereka memotong
jalan sedemikian rupa sehingga pihak musuh itu berada di belakang mereka.
Selanjutnya Muhammad mengatur barisan para sahabat. Limapuluh orang barisan
pemanah ditempatkan di lereng-lereng gunung, dan kepada mereka
diperintahkan:
“Lindungi kami dan belakang, sebab kita kuatir mereka akan
mendatangi kami dari belakang. Dan bertahanlah kamu di tempat itu, jangan
ditinggalkan. Kalau kamu melihat kami dapat menghancurkan mereka sehingga kami
memasuki pertahanan mereka, kamu jangan meninggalkan tempat kamu. Dan jika kamu
lihat kami yang diserang jangan pula kami dibantu, juga jangan kami
dipertahankan. Tetapi tugasmu ialah menghujani kuda mereka dengan panah, sebab
dengan serangan panah kuda itu takkan dapat maju.”
Selain pasukan
pemanah, yang lain tidak diperbolehkan menyerang siapapun, sebelum ia memberi
perintah menyerang.
Adapun pihak Quraisy merekapun juga sudah menyusun
barisan. Barisan kanan dipimpin oleh Khalid bin’l-Walid sedang sayap kin
dipimpin oleh ‘Ikrima b. Abi Jahl. Bendera diserahkan kepada Abd’l ‘Uzza Talha
b. Abi Talha. Wanita-wanita Quraisy sambil memukul tambur dan genderang berjalan
di tengah-tengah barisan itu. Kadang mereka di depan barisan, kadang di
belakangnya. Mereka dipimpin oleh Hindun bt. ‘Utba, isteri Abu Sufyan, seraya
bertenak-teriak:
Hayo, Banu Abd’d-Dar
Hayo, hayo pengawal barisan
belakang
Hantamlah dengan segala yang tajam.
Kamu maju kami peluk
Dan
kami hamparkan kasur yang empuk
Atau kamu mundur kita berpisah
Berpisah
tanpa cinta.
Kedua belah pihak sudah siap bertempur. Masing-masing sudah
mengerahkan pasukannya. Yang selalu teringat oleh Quraisy ialah peristiwa Badr
dan korban-korbannya. Yang selalu teringat oleh kaum Muslimin ialah Tuhan serta
pertolonganNya. Muhammad berpidato dengan memberi semangat dalam menghadapi
pertempuran itu. Ia menjanjikan pasukannya akan mendapat kemenangan apabila
mereka tabah. Sebilah pedang dipegangnya sambil ia berkata:
“Siapa yang
akan memegang pedang ini guna disesuaikan dengan tugasnya?”
Beberapa
orang tampil. Tapi pedang itu tidak pula diberikan kepada mereka. Kemudian Abu
Dujana Simak b. Kharasya dari Banu Sa’ida tampil seraya berkata:
“Apa
tugasnya, Rasulullah?”
“Tugasnya ialah menghantamkan pedang kepada musuh
sampai ia bengkok,” jawabnya.
Abu Dujana seorang laki-laki yang sangat
berani. Ia mengenakan pita (kain) merah. Apabila pita merah itu sudah diikatkan
orangpun mengetahui, bahwa ia sudah siap bertempur dan waktu itupun ia sudah
mengeluarkan pita mautnya itu.
Pedang diambilnya, pita dikeluarkan lalu
diikatkannya di kepala. Kemudian ia berlagak di tengah-tengah dua barisan itu
seperti biasanya apabila ia sudah siap menghadapi pertempuran.
“Cara
berjalan begini sangat dibenci Allah, kecuali dalam bidang ini,” kata Muhammad
setelah dilihatnya orang itu berlagak.
Orang pertama yang mencetuskan
perang di antara dua pihak itu adalah Abu ‘Amir ‘Abd ‘Amr b. Shaifi al-Ausi
(dari Aus). Orang ini sengaja pindah dari Medinah ke Mekah hendak membakar
semangat Quraisy supaya memerangi Muhammad. Ia belum pernah ikut dalam perang
Badr. Sekarang ia menerjunkan diri dalam perang Uhud dengan membawa lima belas
orang dari golongan Aus. Ada juga budak-budak dari penduduk Mekah yang juga
dibawanya. Menurut dugaannya, apabila nanti ia memanggil-manggil orang-orang
Islam dari golongan Aus yang ikut berjuang di pihak Muhammad, niscaya mereka
akan memenuhi panggilannya, akan berpihak kepadanya dan membantu
Quraisy.
“Saudara-saudara dari Aus! Saya adalah Abu ‘Amir!” teriaknya
memanggil-manggil.
Tetapi Muslimin dari kalangan Aus itu
membalas:
“Tuhan takkan memberikan kesenangan kepadamu,
durhaka!”
Perangpun lalu pecah. Budak-budak Quraisy serta ‘Ikrima b. Abi
Jahl yang berada di sayap kiri, berusaha hendak menyerang Muslimin dari samping,
tapi pihak Muslimin menghujani mereka dengan batu sehingga Abu ‘Amir dan
pengikut-pengikutnya lari tunggang-langgang. Ketika itu juga Hamzah b.
Abd’l-Muttalib berteriak, membawa teriakan perang Uhud:
“Mati, mati!”
Lalu ia terjun ketengah-tengah tentara Quraisy itu. Ketika itu Talha b. Abi
Talha, yang membawa bendera tentara Mekah berteriak pula:
“Siapa yang
akan duel?”
Lalu Ali b. Abi Talib tampil menghadapinya. Dua orang dari
dua barisan itu bertemu. Cepat-cepat Ali memberikan satu pukulan, yang membuat
kepala lawannya itu belah dua. Nabi merasa lega dengan itu. Ketika itu juga kaum
Muslimin bertakbir dan melancarkan serangannya. Dengan pedang Nabi di tangan dan
mengikatkan pita maut di kepala, Abu Dujane pun terjun kedepan. Dibunuhnya
setiap orang yang dijumpainya. Barisan orang-orang musyrik jadi kacau-balau.
Kemudian ia melihat seseorang sedang mencencang-cencang sesosok tubuh manusia
dengan keras sekali. Diangkatnya pedangnya dan diayunkannya kepada orang itu.
Tetapi ternyata orang itu adalah Hindun bt. ‘Utba. Ia mundur. Terlalu mulia
rasanya pedang Rasul akan dipukulkan kepada seorang wanita.
Dengan secara
keras sekali pihak Quraisypun menyerbu pula ke tengah-tengah pertempuran itu.
Darahnya sudah mendidih ingin menuntut balas atas pemimpin-pemimpin dan
pemuka-pemuka mereka yang sudah tewas setahun yang lalu di Badr.
Sementara itu Hindun bt. ‘Utba telah pula menjanjikan Wahsyi,
orang Abisinia dan budak Jubair (b. Mut’im) akan memberikan hadiah besar apabila
ia berhasil membunuh Hamzah. Begitu juga Jubair b. Mut’im sendiri, tuannya, yang
pamannya telah terbunuh di Badr, mengatakan kepadanya:
“Kalau Hamzah
paman Muhammad itu kau bunuh, maka engkau kumerdekakan.” Wahsyi sendiri dalam
hal ini bercerita sebagai berikut:
“Kemudian aku berangkat bersama
rombongan. Aku adalah orang Abisinia yang apabila sudah melemparkan tombak cara
Abisinia, jarang sekali meleset. Ketika terjadi pertempuran, kucari Hamzah dan
kuincar dia. Kemudian kulihat dia di tengah-fengah orang banyak itu seperti
seekor unta kelabu sedang membabati orang dengan pedangnya. Lalu tombak
kuayunkan-ayunkan, dan sesudah pasti sekali kulemparkan. Ia tepat mengenai
sasaran di bawah perutnya, dan keluar dari antara dua kakinya. Kubiarkan tombak
itu begitu sampai dia mati. Sesudah itu kuhampiri dia dan kuambil tombakku itu,
lalu aku kembali ke markas dan aku diam di sana, sebab sudah tak ada tugas lain
selain itu. Kubunuh dia hanya supaya aku dimerdekakan saja dari perbudakan. Dan
sesudah aku pulang ke Mekah, ternyata aku dimerdekakan.”
Adapun mereka
yang berjuang mempertahankan tanah-air, contohnya terdapat pada Quzman, salah
seorang munafik, yang hanya pura-pura Islam. Ketika kaum Muslimin berangkat ke
Uhud ia tinggal di belakang. Keesokan harinya, ia mendapat hinaan dari
wanita-wanita Banu Zafar.
“Quzman,” kata wanita-wanita itu. “Tidak malu
engkau dengan sikapmu itu. Seperti perempuan saja kau. Orang semua berangkat kau
tinggal dalam rumah.”
Dengan sikap berang Quzman pulang ke rumahnya.
Dikeluarkannya kudanya, tabung panah dan pedangnya. Ia dikenal sebagai seorang
pemberani. Ia berangkat dengan memacu kudanya sampai ke tempat tentara.
Sementara itu Nabi sedang menyusun barisan Muslimin. Ia terus menyeruak sampai
ke barisan terdepan. Dia adalah orang pertama dari pihak Muslimin yang
menerjunkan diri, dengan melepaskan panah demi panah, seperti tombak
layaknya.
Hari sudah menjelang senja. Tampaknya ia lebih suka mati
daripada lari. Ia sendiri lalu membunuh diri sesudah sempat membunuh tujuh orang
Quraisy di Suway’a - selain mereka yang telah dibunuhnya pada permulaan
pertempuran. Tatkala ia sedang sekarat itu, Abu’l-Khaidaq lewat di tempat
itu.
“Quzman, beruntung kau akan mati syahid,” katanya.
“Abu
‘Amr,” kata Quzman. “Sungguh saya bertempur bukan atas dasar agama. Saya
bertempur hanya sekadar menjaga jangan sampai Quraisy memasuki tempat kami dan
melanda kehormatan kami, menginjak-injak kebun kami. Saya berperang hanya untuk
menjaga nama keturunan masyarakat kami. Kalau tidak karena itu saya tidak akan
berperang.”
Sebaliknya mereka yang benar-benar beriman, jumlahnya tidak
lebih dari 700 orang. Mereka bertempur melawan 3000 orang. Kita sudah melihat,
tindakan Hamzah dan Abu Dujana yang telah memperlihatkan suatu teladan dalam
arti kekuatan moril yang tinggi pada mereka itu. Suatu kekuatan yang telah
membuat barisan Quraisy jadi lemas seperti rotan, membuat pahlawan-pahlawan
Quraisy, yang tadinya di kalangan Arab keberaniannya dijadikan suri teladan,
telah mundur dan surut. Setiap panji mereka lepas dari tangan seseorang, panji
itu diterima oleh yang lain di belakangnya. Setelah Talha b. Abi Talha tewas di
tangan Ali datang ‘Uthman b. Abi Talha menyambut bendera itu, yang juga kemudian
menemui ajalnya di tangan Hamzah. Seterusnya bendera itu dibawa oleh Abu Sa’d b.
Abi Talha sambil berkata:
“Kamu mendakwakan bahwa koban-korban kamu dalam
surga dan korban-korban kami dalam neraka! Kamu bohong! Kalau kamu benar-benar
orang beriman majulah siapa saja yang mau melawanku”:
Entah Ali atau Sa’d
b. Abi Waqqash ketika itu menghantamkan pedangnya dengan sekali pukul hingga
kepala orang itu terbelah.
Setelah mereka yang membawa bendera itu tewas semua,
pasukan orang-orang musyrik itu hancur. Mereka sudah tidak tahu lagi bahwa
mereka dikerumuni oleh wanita-wanita, bahwa berhala yang mereka mintai restunya
telah terjatuh dari atas unta dan pelangking yang membawanya.
Kemenangan
Muslimin dalam perang Uhud pada pagi hari itu sebenarnya adalah suatu mujizat.
Adakalanya orang menafsirkan, bahwa kemenangan itu disebabkan oleh kemahiran
Muhammad mengatur barisan pemanah di lereng bukit, merintangi pasukan berkuda
dengan anak panah sehingga mereka tidak dapat maju, juga tidak dapat menyergap
Muslimin dari belakang. Ini memang benar. Tetapi juga tidak salah, bahwa 600
orang Muslimin yang menyerbu jumlah sebanyak lima kali lipat itupun, dengan
perlengkapan yang juga demikian, motifnya adalah iman, iman yang
sungguh-sungguh, bahwa mereka dalam kebenaran.
Inilah yang membawa
mujizat kepahlawanan melebihi kepandaian pimpinan. Barangsiapa yang telah
beriman kepada kebenaran, ia takkan goncang oleh kekuatan materi, betapapun
besarnya. Semua kekuatan batil yang digabungkan sekalipun, takkan dapat
menggoyahkan kebulatan tekadnya itu. Dapatkah kita menganggap cukup dengan
kepandaian pimpinan itu saja, padahal barisan pemanah yang oleh Nabi ditempatkan
di lereng bukit itu jumlahnya tidak lebih dari 50 orang? Andaikata sekalipun
mereka itu terdiri dari 200 orang atau 300 orang, mendapat serbuan dari mereka
yang sudah bertekad mati, niscaya mereka tidak akan dapat bertahan. Tetapi
kekuatan yang terbesar, ialah kekuatan konsepsi, kekuatan akidah, kekuatan iman
yang sungguh-sungguh akan adanya Kebenaran Tertinggi. Kekuatan inilah yang
takkan dapat ditaklukkan selama orang masih teguh berpegang kepada kebenaran
itu.
Karena itulah, 3000 orang pasukan berkuda Quraisy jadi hancur
menghadapi serangan 600 orang Muslimin. Dan hampir-hampir pula wanita-wanita
merekapun akan menjadi tawanan perang yang hina dina.
Muslimin kini
mengejar musuh itu sampai mereka meletakkan senjata dimana saja asal jauh dari
bekas markas mereka. Kaum Muslimin sekarang mulai memperebutkan rampasan perang.
Alangkah banyaknya jumlah rampasan perang itu! Hal ini membuat mereka lupa
mengikuti terus jejak musuh, karena sudah mengharapkan kekayaan
duniawi.
Mereka ini ternyata dilihat oleh pasukan pemanah yang oleh Rasul
diminta jangan meninggalkan tempat di gunung itu, sekalipun mereka melihat
kawan-kawannya diserang.
Dengan tak dapat menahan air liur melihat
rampasan perang itu, kepada satu sama lain mereka berkata:
“Kenapa kita
masih tinggal disini juga dengan tidak ada apa-apa. Tuhan telah menghancurkan
musuh kita. Mereka, saudara-saudara kita itu, sudah merebut markas musuh.
Kesanalah juga kita, ikut mengambil rampasan itu.”
Yang seorang lagi
tentu menjawab:
“Bukankah Rasulullah sudah berpesan jangan meninggalkan
tempat kita ini? Sekalipun kami diserang janganlah kami dibantu.”
Yang
pertama berkata lagi:
“Rasulullah tidak menghendaki kita tinggal disini
terus-menerus, setelah Tuhan menghancurkan kaum musyrik itu.”
Lalu mereka
berselisih. Ketika itu juga tampil Abdullah bin Jubair berpidato agar jangan
mereka itu melanggar perintah Rasul. Tetapi mereka sebahagian besar tidak patuh.
Mereka berangkat juga. Yang masih tinggal hanya beberapa orang saja, tidak
sampai sepuluh orang. Seperti kesibukan Muslimin yang lain, mereka yang ikut
bergegas itu pun sibuk pula dengan harta rampasan. Pada waktu itulah Khalid
bin’l-Walid mengambil kesempatan - dia sebagai komandan kavaleri Mekah -
pasukannya dikerahkan ke tempat pasukan pemanah, dan mereka inipun berhasil
dikeluarkan dari sana.
Tindakan ini tidak disadari oleh pihak Muslimin. Mereka sangat sibuk untuk
memperhatikan soal itu atau soal apapun, karena sedang menghadapi harta rampasan
perang yang mereka keduk habis-habisan itu, sehingga tiada seorangpun yang
membiarkan apa saja yang dapat mereka ambil. Sementara mereka sedang dalam
keadaan serupa itu, tiba-tiba Khalid bin’l-Walid berseru sekuat-kuatnya, dan
sekaligus pihak Quraisypun mengerti, bahwa ia telah dapat membalikkan anak
buahnya ke belakang tentara Muslimin. Mereka yang tadinya sudah terpukul mundur
sekarang kembali lagi maju dan mendera Muslimin dengan pukulan maut yang hebat
sekali. Di sinilah giliran bencana itu berbalik. Setiap Muslim telah melemparkan
kembali hasil renggutan yang sudah ada di tangan itu, dan kembali pula mereka
mencabut pedang hendak bertempur lagi.
Tetapi sayang, sayang sekali!
Barisan sudah centang-perenang, persatuan sudah pecah-belah, pahlawan-pahlawan
teladan dari kalangan Muslimin telah dihantam oleh pihak Quraisy. Mereka yang
tadinya berjuang dengan perintah Tuhan hendak mempertahankan iman, sekarang
berjuang hendak menyelamatkan diri dari cengkaman maut, dari lembah kehinaan.
Mereka yang tadinya berjuang dengan bersatu-padu, sekarang mereka berjuang
dengan bercerai-berai. Tak tahu lagi haluan hendak kemana. Tadinya mereka
berjuang di bawah satu pimpinan yang kuat dan teguh, sekarang berjuang tanpa
pimpinan lagi.
Jadi tidak heran, apabila ada seorang Muslim menghantamkan
pedangnya kepada sesama Muslim dengan tiada disadarinya.
Dalam pada itu
terdengar pula ada suara orang berteriak-teriak, bahwa Muhammad sudah terbunuh.
Keadaan makin panik, makin kacau-balau. Kaum Muslimin jadi berselisih, jadi
saling bunuh-membunuh, satu sama lain saling hantam-menghantam, dengan tiada
mereka sadari lagi karena mereka sudah tergopoh-gopoh, sudah kebingungan. Kaum
Muslimin telah membunuh sesama Muslim, Husail b. Jabir membunuh Abu Hudhaifa
karena sudah tidak diketahuinya lagi. Yang paling penting bagi setiap Muslim
ialah menyelamatkan diri; kecuali mereka yang telah mendapat perlindungan Tuhan,
seperti Ali b. Abi Talib misalnya.
Akan tetapi begitu Quraisy mendengar
Muhammad telah terbunuh, seperti banjir mereka terjun mengalir ke jurusan tempat
dia tadinya berada. Masing-masing ingin supaya dialah yang membunuhnya atau ikut
memegang peranan didalamnya, suatu hal yang akan dibanggakan oleh generasi
kemudian. Ketika itulah Muslimin yang dekat sekali dengan Nabi bertindak
mengelilinginya, menjaga dan melindunginya. Iman mereka telah tergugah kembali
memenuhi jiwa, mereka kembali mendambakan mati, dan hidup duniawi ini dirasanya
sudah tak ada arti lagi. Iman mereka makin besar, keberanian mereka makin
bertambah bilamana mereka melihat batu yang dilemparkan Quraisy itu telah
mengenai diri Nabi. Gigi gerahamnya yang setelah terkena, wajahnya pecah-pecah
dan bibirnya luka-luka. Dua keping lingkaran rantai topi besi yang menutupi
wajahnya, telah menusuk pula menembusi pipinya. Batu-batu yang menimpanya itu
dilemparkan oleh ‘Utba b. Abi Waqqash.
Sekarang Rasul dapat menguasai
diri. Ia berJalan sambil dikelilingi oleh sahabat-sahabat. Tetapi tiba-tiba ia
terperosok kedalam sebuah lubang yang sengaja digali oleh Abu ‘Amir guna
menjerumuskan kaum Muslimin. Cepat-cepat Ali b. Abi Talib menghampirinya,
dipegangnya tangannya, dan Talha bin ‘Ubaidillah mengangkatnya hingga ia berdiri
kembali. Ia meneruskan perjalanan dengan sahabat-sahabatnya itu, terus mendaki
Gunung Uhud, dan dengan demikian dapat menyelamatkan diri dari kejaran
musuh.
Pada waktu itu juga Muslimin berkumpul di sekitar mereka. Dalam
membela Rasul dan menjaga keselamatannya, mereka bersedia mati. Hari itu
menjelang tengah hari, Umm ‘Umara
4 seorang wanita Anshar, berangkat
pula membawa air berkeliling dengan membagi-bagikan air itu kepada Muslimin yang
sedang berjuang itu. Setelah melihat Muslimin terpukul mundur, dilemparkannya
tempat air itu dan dengan menghunus pedang wanita itu terjun pula ikut
bertempur, Ikut melindungi Muhammad dengan pedang dan dengan melepaskan anak
panah, sehingga karenanya dia sendiri mengalami luka-luka. Sementara Abu Dujana
membuat dirinya sebagai perisai melindungi Rasulullah, dengan membungkukkan
punggungnya, sehingga lemparan anak panah musuh mengenai dirinya. Sedang
disamping Muhammad Sa’d b. Abi Waqqash melepaskan pula panahnya dan Muhammad
memberikan anak panah itu seraya berkata: “Lepaskan (anak panah itu).
Kupertaruhkan ibu-bapaku untukmu.”
5
Sebelum itu Muhammad
melepaskan sendiri anak panahnya, sampai-sampai ujung busurnya itu
patah.
Adapun mereka yang mengira Muhammad telah tewas termasuk diantara
mereka itu Abu Bakr dan Umar pergi ke arah gunung dan mereka ini sudah pasrah.
Hal ini diketahui oleh Anas bin’n-Nadzr yang lalu berkata kepada
mereka:
“Kenapa kamu duduk-duduk di sini?”
“Rasulullah sudah
terbunuh,” jawab mereka.
“Perlu apa lagi kita hidup sesudah itu?
Bangunlah! Dan biarlah kita juga mati untuk tujuan yang sama.”
Kemudian
ia maju menghadapi musuh. Ia bertempur mati-matian, bertempur tiada taranya.
Akhimya ia baru menemui ajalnya setelah mengalami tujuhpuluh pukulan musuh,
sehingga ketika itu orang tidak dapat lagi mengenalnya, kalau tidak karena
saudara perempuannya yang datang dan dapat mengenal dia dari ujung
jarinya.
Akan tetapi tatkala Ka’b bin Malik datang mendekati Abu
Dujana dan anak buahnya, ia segera mengenal Muhammad waktu dilihatnya sinar
matanya yang berkilau dan balik topi besi penutup mukanya itu. Ia
memanggil-manggil dengan suara yang sekeras-kerasnya:
“Saudara-saudara
kaum Muslimin! Selamat, selamat! Ini Rasulullah!”
Ketika itu Nabi memberi
isyarat kepadanya supaya diam. Tetapi begitu Muslimin mengetahui hal itu, Nabi
segera mereka angkat dan iapun berjalan pula bersama mereka ke arah celah bukit
didampingi oleh Abu Bakr, Umar, Ali b. Abi Talib, Zubair bin’l-‘Awwam dan yang
lain. Teriakan Ka’b itu pada pihak Quraisy juga ada pengaruhnya. Memang benar,
bahwa sebahagian besar mereka tidak mempercayai teriakan itu, sebab menurut
anggapan mereka itu hanya untuk memperkuat semangat kaum Muslimin saja. Tetapi
dari mereka itu ada juga yang lalu segera pergi mengikuti Muhammad dan
rombongannya itu dari belakang. Ubayy b. Khalaf kemudian dapat menyusul mereka,
dan lalu bertanya:
“Mana Muhammad?! Aku tidak akan selamat kalau dia yang
masih selamat,” katanya.
Waktu itu juga oleh Rasul ia ditetaknya dengan
tombak Harith bin’sh-Shimma demikian rupa, sehingga ia terhuyung-huyung diatas
kudanya dan kembali pulang untuk kemudian mati di tengah
jalan.
Selama mereka dalam keadaan itu tiba-tiba
Khalid bin’l-Walid dengan pasukan berkudanya sudah berada di atas bukit. Tetapi
Umar bin’l-Khattab dengan beberapa orang sahabat Rasul segera menyerang dan
berhasil mengusir mereka. Sementara itu orang-orang Islam sudah makin tinggi
mendaki gunung. Tetapi keadaan mereka sudah begitu payah, begitu letih
tampaknya, sampai-sampai Nabi melakukan salat lohor sambil duduk - juga karena
luka-luka yang dideritanya, - demikian juga kaum Muslimin yang lain melakukan
salat makmum di belakangnya, sambil duduk pula.
Sebaliknya pihak Quraisy
dengan kemenangannya itu mereka sudah girang sekali. Terhadap peristiwa perang
Badr mereka merasa sudah sungguh-sungguh dapat membalas dendam. Seperti kata Abu
Sufyan: “Yang sekarang ini untuk peristiwa perang Badr. Sampai jumpa lagi tahun
depan!”
Tetapi isterinya, Hindun bint ‘Utba tidak cukup hanya dengan
kemenangan, dan tidak cukup hanya dengan tewasnya Hamzah b. Abd’l-Muttalib,
malah bersama-sama dengan warõita wanita lain dalam rombongannya itu ia pergi
lagi hendak menganiaya mayat-mayat Muslimin; mereka memotongi telinga-telinga
dan hidung-hidung mayat itu, yang oleh Hindun lalu dipakainya sebagai kalung dan
anting-anting. Kemudian diteruskannya lagi,
dibedahnya perut Hamzah,
dikeluarkannya jantungnya, lalu dikunyahnya dengan giginya; tapi ia tak dapat
menelannya. Begitu kejinya perbuatannya itu, begitu juga perbuatan wanita-wanita
anggota rombongannya, bankan kaum prianyapun turut pula melakukan kejahatan
serupa itu, sehingga Abu Sufyan sendiri menyatakan lepas tangan dari perbuatan
itu. Ia menyatakan, bahwa dia samasekali tidak memerintahkan orang berbuat
serupa itu, sekalipun dia sudah terlibat di dalamnya. Bahkan ia pernah berkata,
yang ditujukan kepada salah seorang Islam. “Mayat-mayatmu telah mengalami
penganiayaan. Tapi aku sungguh tidak senang, juga tidak benci; aku tidak
melarang, juga tidak memerintahkan.”
Selesai menguburkan mayat-mayatnya
sendiri. Quraisypun pergi. Sekarang kaum Muslimin kembali ke garis depan guna
menguburkan mayat-mayatnya pula. Kemudian Muhammad pergi hendak mencari Hamzah,
pamannya. Bilamana kemudian ia melihatnya sudah dianiaya dan perutnya sudah
dibedah, ia merasa sangat sedih sekali, sehingga ia berkata:
“Takkan
pernah ada orang mengalami malapetaka seperti kau ini. Belum pernah aku
menyaksikan suatu peristiwa yang begitu menimbulkan amarahku seperti kejadian
ini.” Lalu katanya lagi: “Demi Allah, kalau pada suatu ketika Tuhan memberikan
kemenangan kepada kami melawan mereka, niscaya akan kuaniaya mereka dengan cara
yang belum pernah dilakukan oleh orang Arab.”
Dalam kejadian inilah
firman Tuhan turun.
“Dan kalau kamu mengadakan
pembalasan, balaslah seperti yang mereka lakukan terhadap kamu. Tetapi kalau
kamu tabah hati, itulah yang paling baik bagi mereka yang berhati tabah (sabar).
Dan hendaklah kau tabahkan hatimu, dan ketabahan hatimu itu hanyalah dengan
berpegang kepada Tuhan. Jangan pula engkau bersedih hati terhadap mereka, jangan
engkau bersesak dada menghadapi apa yang mereka rencanakan itu.” (Qur’an, 16: 126 - 127)
Lalu Rasulullah
memaafkan mereka, ditabahkannya hatinya dan ia melarang orang melakukan
penganiayaan. Diselubunginya jenazah Hamzah itu dengan mantelnya lalu
disembahyangkannya. Ketika itu Shafia bt Abd’l-Muttailb - saudara perempuannya -
juga datang. Ditatapnya saudaranya itu, lalu ia pun menyembahyangkannya dan
mendoakan pengampunan baginya.
Nabi memerintahkan supaya korban-korban
itu dikuburkan di tempat mereka menemui ajalnya dan Hamzah juga dikuburkan.
Sesudah itu kaum Muslimin berangkat pulang ke Medinah, dibawah pimpinan
Muhammad, dengan meninggalkan 70 orang korban. Kepedihan terasa sekali melecut
hati mereka; karena kehancuran yang mereka alami setelah mendapat kemenangan,
karena rasa hina serta rendah diri yang menimpa mereka, setelah mendapat sukses
yang gilang-gemilang. Semua kejadian itu ialah karena pasukan pemanah sudah
melanggar perintah Nabi.
Muslimin sudah terlalu sibuk mengurus rampasan perang
dari pihak musuh.
Muhammad juga lalu kembali ke Medinah. Sudah banyak posisi yang
dapat diambil kembali setelah tadinya mengalami kegoyahan akibat peristiwa Uhud
itu, meskipun kaum munafik mulai pula mengangkat kepala menertawakan kaum
Muslimin sambil menanyakan: Kalau peristiwa Badr itu merupakan pertanda dari
Tuhan atas kerasulan Muhammad, maka dengan peristiwa Uhud itu apa pula konon
pertandanya dan apa yang akan jadi alamatnya??!
Bukankah
teramat besar sekali akibat tidak mengikuti perkataan Rosul, walaupun
pada awalnya umat muslim berniat berperang karena jihat fisabilillah,
tapi karena mereka tidak bisa menahan diri dari menginginkan harta
rampasan sehingga melanggar pesan dari Rosulullah, sehingga mereka harus
mengalami kekalahan yang teramat memilukan.
Tapi Allah
Maha mengetahui yang terbaik untuk hambanya yang bertaqwa, dan di balik
itu semua pasti sangatlah banyak sekali pengalaman yang dapat kita
ambil...
Catatan kaki:
1 Juhfa sebuah
tempat sepanjang jalan Medinah-Mekah, tiga atau empat hari perjaianan dari
Mekah; juga merupakan tempat pertemuan orang-orang Mesir dan Syam.
2 Sebuah kabilah
dari Ta’if (A)
3 Syaikhan nama sebuah tempat; pada masa Jahiliah konon
di tempat itu terdapat dua buah kubu untuk dua orang tua yang buta, pria dan
wanita, yang sedang bercakap-cakap. Maka tempat itu dinamai asy-Syaikhan
(harfiah berarti dua orang tua).
4 Namanya Nasiba, isteri Zaid b. ‘Ashim (A).
5 Diucapkan
sebagai tanda cinta dan mendoakan kebaikan kepadanya (A).