Empati sering
didefinisikan sebagai berada pada posisi orang lain (Bennett, 1979). Dalam
empati, berarti kita berpartisipasi pada pengalaman orang lain. Empati
adalah strategikomunikasi yang paling tepat dengan realitas majemuk
dan asumsi perbedaan (Al-Hakim, 2005).
Dalam empati,
berarti kita ‘berpartisipasi’ pada pengalaman orang lain. Komunikasi empati
mendorong kepekaan interrasial dan interkultural. Kaidah kehidupan menyuruh
kita memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan oleh mereka.
Dalam kaidah ini terkandung asumsi kesamaan: orang lain seperti diri kita dan
karena itu ingin diperlakukan yang sama.
Kesamaan
mengandung makna realitas yang tunggal dan mutlak, dan pemikiran seperti itu
adalah dasar dari etnosentrisme. Kaidah kehidupan membawa kepada strategi
komunikasi empati, yakni secara imajinatif kita mengalami dunia dari perspektif
orang lain.
Kemampuan
empati dapat dikembangkan dengan mengikuti enam langkah yang salingberkaitan
sebagai berikut.
a.
Mengasumsikan perbedaan
Tanpa asumsi
perbedaan, empati dianggap tidak perlu, dan mungkin diremehkan sebagai tidak
tulus. Kita harus bisa menerima, bahwa kita bisa berbeda menghadapi konstruksi
dan situasi yang berbeda. Kita akan bebas membayangkan pikiran dan perasaan kita
dari perspektif yang lain.
Selama kita
dapat menghubungkan perspektif dari hasil bayangan kita dengan perspektif orang
lain yang sebenarnya, maka barulah kita dapat melakukan empati.
b. Mengenali
diri
Kebanyakan
kita, walaupun ingin mengembangkan empati, takut akan kehilangan diri. Memang,
inilah bahaya empati, jika kita tidak betulbetul siap. Persiapan yang
diperlukan adalah mengenal diri kita secukupnya, sehingga dimungkinkan
peneguhan kembali identitas individual secara mudah.
Jika kita
menyadari nilai, asumsi dan keyakinan individual secara kultural sendiri, yaitu
dalam mendefinisikan identitas kita.. Kita tidak akan kehilangan sesuatu yang
dapat diciptakan kembali sekehendak kita.
c. Menunda
diri
Pada langkah
ini, identitas dipertegas pada langkah kedua untuk sementara dikesampingkan.
Tentu, hal ini bukan merupakan sesuatu yang mudah. Pusat perhatian pada langkah
ini adalah bukan pada menunda isi identitas (asumsi, nilai,
perangkat perilaku, dan sebagainya); akan tetapi fokusnya terletak pada kemampuan
mengubah dan memperluas batas.
d. Melakukan
imajinasi terbimbing
Jika batas
diri diperluas, perbedaan antara yang internal dengan yang eksternal (subyektif
dan obyektif) dihapuskan. Kesadaran kita bebas mengembara di antara fenomena
di luar, termasuk orang lain. Agar empati
interpersonal yang cermat bisa terjadi, kita harus membiarkan imajinasi kita
dibimbing ke dalam pengalaman orang lain. Jika kita berhasil membiarkan
imajinasi kita disedot oleh orang lain, kita sedang berpartisipasi secara
imajinatif pada pengalaman orang lain.
e. Membiarkan
pengalaman empati
Jika kita
membiarkan imajinasi kita dibimbing ke dalam diri orang lain, maka kita sedang
memandang orang lain, seakan-akan itu adalah diri kita sendiri. Walaupun
pengalaman ini imajinatif, intensitas dan realitasnya, tidak selalu lebih
rendah dari pe ngalaman biasa kita. Intensitas pengalaman empati bahkan bisa
lebih besar, sejajar dengan intensitas drama, yang kadang-kadang lebih besar
dari pada kehidupan.
Pengalaman
empati, seperti imajinasi, harus dibiarkan. Mengarahkan pengalaman secara
sadar, menurut definisi, adalah kegiatan sadar diri.
f. Meneguhkan
kembali diri
Walaupun
menemuan jalan untuk memasuki pengalaman orang itu penting, sama perlunya juga
mengingat untuk kembali kepada diri sendiri kita. Dalam kebudayaan kita, paling
tidak proses peneguhan diri ini adalah komponen yang diperlukan untuk
komunikasi empati. Kegagalan untuk melakukannnya, dapat berakhir pada kerancuan
identitas, atau kehilangan ego.
Tujuan empati
bukanlah kehidupan terus-menerus, sehingga orang gagal untuk mengenal identitas
diri kembali. Jika empati, dibangun atas dasar realitas majemuk dan
keberbedaan, maka prasangka sosial justru terpetakan dari
sebuah realitas tunggal, dan oleh karena itu bersifat etnosentrisme.
PRASANGKA
Dalam kaitan
itu, Skeel (1995) mendefinisikan prasangka (prejudice) sebagai pertimbangan
tentang kelompok sosio-budaya lain tanpa tahu lebih dahulu tentang fakta
mengenai kelompok itu. Hal ini terkait dengan etnosentrisme dimana seseorang bertindak
terhadap orang lain yang berbeda kultur berdasarkan sudut pandang kulturnya
sendiri, dan cenderung memandang kulturnya sendiri sebagai yang terbaik.
Penelitian
tentang pengurangan prasangka menunjukkan bahwa fakta yang berdiri sendiri
tidak mampu mengurangi prasangka, prasangka kelas sosial jauh lebih kuat
daripada prasangka ras atau agama; seseorang yang penerimaan dirinya lebih kuat
cenderung memiliki prasangka yang lemah; komponen kognisi, afeksi, dan aksi
dari kognisi cenderung tidak berkaitan; films dan media lain mampu meningkatkan
sikap positif terhadap kelompok-kelompok yang berbeda budaya; dan kontak budaya
antar kelompok etnis juga mampu mengurangi prasangka (Skeel, 1995).
Etnosentrisme
(sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya
orang lain/ tidak menerima pendapat dari kelompok luar) dapat
dikurangi dengan pembelajaran yang memberi kesempatan siswa untuk mendiskusikan
proses terbentuknya stereotipe, memberi kesempatan untuk mengemukakan
perasaannya tentang kelompok budaya, mempelajari kontribusi positif dari
berbagai kelompok budaya, dan mempertimbangkan beragamnya perilaku yang
ditunjukkan oleh berbagai budaya (Freedman, 1984).