Minggu, 09 Februari 2014

EMPATI DAN PRASANGKA


 Empati sering didefinisikan sebagai berada pada posisi orang lain (Bennett, 1979). Dalam empati, berarti kita berpartisipasi pada pengalaman orang lain. Empati adalah strategikomunikasi yang paling tepat dengan realitas majemuk dan asumsi perbedaan (Al-Hakim, 2005).
Dalam empati, berarti kita ‘berpartisipasi’ pada pengalaman orang lain. Komunikasi empati mendorong kepekaan interrasial dan interkultural. Kaidah kehidupan menyuruh kita memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan oleh mereka. Dalam kaidah ini terkandung asumsi kesamaan: orang lain seperti diri kita dan karena itu ingin diperlakukan yang sama.
Kesamaan mengandung makna realitas yang tunggal dan mutlak, dan pemikiran seperti itu adalah dasar dari etnosentrisme. Kaidah kehidupan membawa kepada strategi komunikasi empati, yakni secara imajinatif kita mengalami dunia dari perspektif orang lain.
Kemampuan empati dapat dikembangkan dengan mengikuti enam langkah yang salingberkaitan sebagai berikut.
a. Mengasumsikan perbedaan
Tanpa asumsi perbedaan, empati dianggap tidak perlu, dan mungkin diremehkan sebagai tidak tulus. Kita harus bisa menerima, bahwa kita bisa berbeda menghadapi konstruksi dan situasi yang berbeda. Kita akan bebas membayangkan pikiran dan perasaan kita dari perspektif yang lain.
Selama kita dapat menghubungkan perspektif dari hasil bayangan kita dengan perspektif orang lain yang sebenarnya, maka barulah kita dapat melakukan empati.
b. Mengenali diri
Kebanyakan kita, walaupun ingin mengembangkan empati, takut akan kehilangan diri. Memang, inilah bahaya empati, jika kita tidak betulbetul siap. Persiapan yang diperlukan adalah mengenal diri kita secukupnya, sehingga dimungkinkan peneguhan kembali identitas individual secara mudah.
Jika kita menyadari nilai, asumsi dan keyakinan individual secara kultural sendiri, yaitu dalam mendefinisikan identitas kita.. Kita tidak akan kehilangan sesuatu yang dapat diciptakan kembali sekehendak kita.
c. Menunda diri
Pada langkah ini, identitas dipertegas pada langkah kedua untuk sementara dikesampingkan. Tentu, hal ini bukan merupakan sesuatu yang mudah. Pusat perhatian pada langkah ini adalah bukan pada menunda isi identitas (asumsi, nilai, perangkat perilaku, dan sebagainya); akan tetapi fokusnya terletak pada kemampuan mengubah dan memperluas batas.
d. Melakukan imajinasi terbimbing
Jika batas diri diperluas, perbedaan antara yang internal dengan yang eksternal (subyektif dan obyektif) dihapuskan. Kesadaran kita bebas mengembara di antara fenomena di luar, termasuk orang lain. Agar empati interpersonal yang cermat bisa terjadi, kita harus membiarkan imajinasi kita dibimbing ke dalam pengalaman orang lain. Jika kita berhasil membiarkan imajinasi kita disedot oleh orang lain, kita sedang berpartisipasi secara imajinatif pada pengalaman orang lain.
e. Membiarkan pengalaman empati
Jika kita membiarkan imajinasi kita dibimbing ke dalam diri orang lain, maka kita sedang memandang orang lain, seakan-akan itu adalah diri kita sendiri. Walaupun pengalaman ini imajinatif, intensitas dan realitasnya, tidak selalu lebih rendah dari pe ngalaman biasa kita. Intensitas pengalaman empati bahkan bisa lebih besar, sejajar dengan intensitas drama, yang kadang-kadang lebih besar dari pada kehidupan.
Pengalaman empati, seperti imajinasi, harus dibiarkan. Mengarahkan pengalaman secara sadar, menurut definisi, adalah kegiatan sadar diri.
f. Meneguhkan kembali diri
Walaupun menemuan jalan untuk memasuki pengalaman orang itu penting, sama perlunya juga mengingat untuk kembali kepada diri sendiri kita. Dalam kebudayaan kita, paling tidak proses peneguhan diri ini adalah komponen yang diperlukan untuk komunikasi empati. Kegagalan untuk melakukannnya, dapat berakhir pada kerancuan identitas, atau kehilangan ego.
Tujuan empati bukanlah kehidupan terus-menerus, sehingga orang gagal untuk mengenal identitas diri kembali. Jika empati, dibangun atas dasar realitas majemuk dan keberbedaan, maka prasangka sosial justru terpetakan dari sebuah realitas tunggal, dan oleh karena itu bersifat etnosentrisme.

PRASANGKA
Dalam kaitan itu, Skeel (1995) mendefinisikan prasangka (prejudice) sebagai pertimbangan tentang kelompok sosio-budaya lain tanpa tahu lebih dahulu tentang fakta mengenai kelompok itu. Hal ini terkait dengan etnosentrisme dimana seseorang bertindak terhadap orang lain yang berbeda kultur berdasarkan sudut pandang kulturnya sendiri, dan cenderung memandang kulturnya sendiri sebagai yang terbaik.
Penelitian tentang pengurangan prasangka menunjukkan bahwa fakta yang berdiri sendiri tidak mampu mengurangi prasangka, prasangka kelas sosial jauh lebih kuat daripada prasangka ras atau agama; seseorang yang penerimaan dirinya lebih kuat cenderung memiliki prasangka yang lemah; komponen kognisi, afeksi, dan aksi dari kognisi cenderung tidak berkaitan; films dan media lain mampu meningkatkan sikap positif terhadap kelompok-kelompok yang berbeda budaya; dan kontak budaya antar kelompok etnis juga mampu mengurangi prasangka (Skeel, 1995).
Etnosentrisme (sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain/ tidak menerima pendapat dari kelompok luar) dapat dikurangi dengan pembelajaran yang memberi kesempatan siswa untuk mendiskusikan proses terbentuknya stereotipe, memberi kesempatan untuk mengemukakan perasaannya tentang kelompok budaya, mempelajari kontribusi positif dari berbagai kelompok budaya, dan mempertimbangkan beragamnya perilaku yang ditunjukkan oleh berbagai budaya (Freedman, 1984).